Caving atau penelusuran gua, boleh dibilang cukup lama dikenal
Indonesia. Persisnya kegiatan ini sudah mulai marak tahun 1980 - an,
ketika Persatuan Speleologi dan Caving Indonesia (Specavina) dibentuk di
Bogor dengan tokoh-tokohnya antara lain dr. Ko King Tjoen, Norman Edwin
( alm ), Dr. Budi Hartono, dan Effendi Soleman. Mulailah dari sini
kegiatan yang jadi hobi baru kala itu menyebar, terutama di kampus -
kampus.
Hobi ini agaknya di awal perkembangannya terseok - seok karena yang
didalaminya tak melulu keterampilan fisik saja namun juga aspek
ilmiahnya. Selain, peralatan yang dibutuhkan pun sulit dibeli di sini.
Specavina, ketika itu pula agak selektif membagi ”ilmu” pada peminat.
Hanya mereka yang memiliki latar belakang keilmuan atau yang menyukai
pengetahuan tentang speleologi yang boleh bergabung. Specavina sebagai
pelopor ketika itu sengaja lebih menonjolkan unsur ilmiahnya (
speleologi ) ketimbang ”olahraganya” ( caving ).
Salah satu aspek yang harus diketahui penggemar caving adalah
pengetahuan dasar geologi. Terutama bagaimana awal gua itu terbentuk, di
daerah mana bisa ditemukan, sifat batuannya, jenis gua, dan sebagainya.
Dengan dasar pengetahuan ini, caver ( penelusur gua ) bisa dengan mudah
menemukan gua. Sebab, mereka hanya akan mendatangi wilayah yang banyak
terdapat batu gamping. Secara teori demikianlah adanya. Gua banyak
terdapat di kawasan batu gamping ( karst ). Berbekal pengetahuan itu
pula jika bisa membaca peta geologi, maka di mana saja sebaran daerah karst,
di sana tujuan yang tepat untuk perjalanan melakukan ekspedisi.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah biologi gua ( biospeleologi
). Memang tak harus menjadi ahli biologi dulu baru bisa menekuni
caving. Tapi paling tidak dengan modal ”baca - baca” dulu, penelusur gua
bisa membandingkan flora fauna antara gua yang satu dengan lainnya.
Atau mungkin dia menemukan spesimen baru yang bisa menambah khasanah
pengetahuan biologi gua di Indonesia. Dia pun menjadi tahu
bagaimana cara menyimpan koleksi itu dengan baik sebelum dibawa ke
pakarnya untuk diidentifikasi.
Keunikan
Fauna gua terbilang unik. Semuanya beradaptasi dengan lingkungan gelap
abadi tak hanya terbilang puluhan atau ratusan, tapi ribuan tahun.
Mereka berevolusi disesuaikan dengan alamnya yang gelap gulita. Di
sebuah gua di Amerika pernah ditemukan salamander transparan dan tak
bermata ( eyeless ), bahkan buta ( blind ). Diduga
salamander itu terjebak di dalam gua dan tak bisa keluar. Untuk bertahan
hidup satwa itu mengembangkan indera peraba dan perasanya sedemikian
rupa untuk menggantikan fungsi matanya. Lama - kelamaan alat penglihatan
itu tertutup selaput karena mubazir.
Begitu pun flora dalam gua yang beradaptasi dengan lingkungan gelap
total. Tumbuhan untuk hidup di permukaan memerlukan sinar matahari.
Tumbuhan berdaun belum pernah dilaporkan ditemukan di dalam gua. Yang
lazim dijumpai adalah aneka jamur yang bentuknya aneh - aneh. Misalnya
ada jamur yang memiliki leher yang panjang, dengan topi kecil namun
lunglai.
Di Indonesia penemuan satwa gua yang terbilang sensasional pernah
terjadi. Tapi sayangnya itu tak tercatat di lembaga resmi pemerintah
atau internasional. Di tahun 1980-an, persisnya tahun berapa sudah
.lupa, klub penelusur gua Garbhabhumi dari Jakarta ketika terjadi
gerhana matahari total, masuk ke Gua Ngerong di Tuban, Jawa
Timur. Bentuk gua itu adalah gua air yang merupakan sungai.
Klub yang dipimpin Norman Edwin ( alm ) saat itu menerobos masuk
dan melawan arus dengan perahu karet. Tak sampai satu kilometer, mereka
terbentur air terjun. Setelah memanjat air terjun, langkah mereka
terhenti sebab di bagian atasnya terdapat mata air. Lorong itu mungkin
bisa ditelusuri lebih jauh, namun memerlukan teknik dan peralatan diving.
Diputuskan ketika itu untuk stop dan kembali ke luar.
Di bagian inilah mereka secara tak sengaja melihat kelap - kelip di
dalam air yang memantul dari sinar lampu. Ternyata barang yang mengkilat
itu adalah ikan. Setelah dipelototin lebih dekat lagi, ikan itu tak
bermata dan transparan. Dibalut rasa girang, spesimen itu dibawa ke
Jakarta untuk diidentifikasi. Beberapa bulan ikan yang mirip anak tawes
itu masih hidup dalam akuarium yang dikondisikan seperti di alamnya oleh
Riza Marlon ( kini juru foto profesional ).
Oleh Yatna Supriatna, kini doktor biologi, temuan itu diidentifikasi
sebagai Puntius microps. Sebagai pembanding, satwa eyeless di gua
di Amerika atau Eropa baru dijumpai di kedalaman puluhan kilo sampai
ratusan. Tapi di Tuban, tak sampai 2 kilometer. Mungkin ini bisa menjadi
bahan kajian ilmuwan kita yang tertarik pada cave biology. Jika di
sana, gua bisa melahirkan ratusan doktor, mengapa di sini tak bisa?
Takut gelapkah, becek dan bayangan mistis tentang gua yang mengakibatkan
orang enggan berurusan dengannya?
Pemetaan Gua
Masuk gua memang bukan sekadar masuk dan mengagumi keindahan di dalamnya
saja. Namun banyak yang harus dikerjakan. Apalagi ketika zaman itu
belum banyak perkumpulan penelusur gua sehingga untuk mengklaimnya harus
dibuktikan dengan peta dan foto-foto. Keakuratan peta sebuah gua
dilihat dari siapa yang membuatnya. Sayangnya kebanggaan dan semangat
untuk membuat peta gua oleh klub - klub caving di Indonesia, melempem.
Hal ini berbeda dengan kondisi klub penelusur gua di luar negeri. Mereka
begitu getol menyusun peta gua hingga ke hal yang detail. Sampai
akhirnya tercipta lambang-lambang khusus dalam pemetaan gua yang
jelimet. Jika ada hal khusus yang ditemukan, misalnya speleothems ( bentukan
gua seperti stalaktit, stalakmit, gourdam, straws, pearls cave dan
sebagainya ) yang mungkin istimewa bentuknya, biasanya peta itu
dibuat irisan dengan gambar detail atau lambang. Di peta tersebut
biasanya tercantum grade, semakin tinggi angka yang tercantum dalam
grade itu maka semakin akurat peta itu dibuat. Di sana yang enak adalah
generasi selanjutnya. Jika ingin masuk gua tinggal masuk dengan panduan
peta. Namun penelusur di sana bukan sekadar mengikuti petunjuk peta.
Bila denah yang dibuat sebelumnya ada kesalahan maka akan dikoreksi dan
dilaporkan ke paguyuban penelusur gua. Maka tak mengherankan jika kini
hampir pasti peta gua di negara - negara maju, akurat. Semua gua sudah
terpetakan yang diikuti dengan data base yang lengkap. Saking
lengkapnya, mereka bisa tahu mana gua yang terpanjang atau yang terdalam
di dunia. Gua yang terdalam dan sampai kini belum terpecahkan rekornya
adalah Voronja Cave di Georgia, pecahan bekas Uni
Soviet, yakni 1.710 meter.
Bayangkan untuk menuruninya berapa panjang tali yang dipakai dan berapa
lama waktu yang diperlukan untuk sampai ke dasar gua. Sementara gua yang
terpanjang dan kompleks sekali lorong - lorongnya adalah Mammoth
Cave di Amerika Serikat yakni, 563,270 km dan dalamnya -116 m.
Kabar bahwa pemetaan gua tak begitu berjalan di Indonesia, sudah bisa
dimaklumi. Karena penggemar caving di sini cenderung menyukai dari sisi
olahraga dan petualangannya. Aspek ilmiah bukannya tak menarik, tapi
kurang menguasai. Pakar biologi atau geologi yang sesungguhnya di
Indonesia, adakah yang membangun tesis dari gua? Kalaupun ada mungkin
jumlahnya tak sampai hitungan jari sebelah tangan.
**Incaran Dunia**
Potensi gua di negeri ini sebetulnya tak kalah menarik dengan yang ada
di luar negeri. Ketika tahun 1980-an, wilayah ini menjadi incaran caver
dunia. Berbagai cara mereka lakukan untuk bisa caving di sini, namun
terbentur peraturan yang menyebutkan peneliti asing harus seizin LIPI.
Adanya peraturan itu sebetulnya ada bagusnya. Mereka jadi tak seenaknya
”mengeksplorasi” gua di Indonesia. Sayangnya, kesempatan itu tak
dipakai oleh penelusur gua kita untuk menjadikan dirinya sebagai yang
pertama.
Belakangan seorang ahli geologi yang juga seorang caver berkebangsaan
Inggris, Tony Waltham, masuk lewat jalur sebuah departemen. Dia datang
konon membantu pengairan di daerah Gunung Kidul yang tandus.
Sebagai pakar geologi, dia tahu betul bahwa air di sana hanya dijumpai
di sungai bawah tanah alias di dalam gua - gua. Dia pun paham bahwa Gunung
Kidul adalah kawasan karst yang nota bene adalah sarangnya
gua yang belum diutak-atik oleh caver mana pun. Sepulangnya dari
Indonesia tak lama kemudian terbitlah buku tentang gua-gua di sana,
berikut foto - foto yang menawan. Potensi gua yang masih menjanjikan,
menurut peta geologi terletak di Sulawesi dan Papua. Tapi
yang menantang adalah yang di Papua. Di peta tertulis selain kawasan
karstnya luas, juga ”ketebalannya” mencapai ribuan meter. Artinya, jika
ada gua vertikal ( pothole ) di Papua maka kedalamannya berpotensi
mengalahkan Gua Voronja di Georgia.
SUMBER : http://www.belantaraindonesia.org/2010/06/sejarah-caving-susur-gua-di-indonesia.html
Tuesday, May 15, 2012
Sejarah Caving (Susur Gua) Di Indonesia
6:06 AM
No comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment